18.02
0

Kemarau ini tak juga berakhir. Meski telah berlalu setahun dan shalat istisqa' pun usai ditunaikan. Padahal ini Madinah. Kota suci dengan banyak orang-orang besar didalamnya. Tempat berjuta do'a terlantunkan, dan berjuta raka'at shalat didirikan. Apakah Allah azza wajalla tidak mendengar do'a mereka ?
Seperti biasa, ibnu munkadir menempati tempat faforitnya untuk berzikir usai shalat isya berjamaah malam itu. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki hitam kekuningan dengan penampilan yang sama sekali tidak mengensankan. Lelaki itu mengambil tempat didekat tiang didepan ibnu munkadir. Mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian berkata, "Ya Rabb, para penududuk mesjid NabiMu telah meminta hujan kepadamu, tetapi tak jua Engkau berikan siraman hujan kepada mereka. Aku bersumpah kepadaMu dengan janjiMu untuk menurunkan hujan kepada mereka saat ini juga  ! saat ini juga !"
Aneh, seaneh penampilannya ! Mungkinkah dia orang gila ? Tetapi, begitu dia menutup tangannya setelah berdoa, bunyi guruh dan petir terdengar jelas, pertanda akan turun hujan. Tak lama kemudian hujanpun menyirami bumi. Lelaki itu berkata setelah memuji sang Khaliq dengan indahnya, "Siapakah aku wahai Rabb ?  Apakah kedudukan ku hingga Engkau mengabulkan permohonanku ? Engkaulah pemilik segala puji telah bermurah hati dengan segala keutamaan dan kekayaanMu." Lelaki itu kemudian mengerjakan shalat. Dia terus saja shalat  subuh datang.
Mengikuti rasa penasarannya, ibnu munkadir mengikuti lelaki itu setelah shalat subuh sambil sesekali melompati genangan air hujan. Tapi ia kehilangan jejak. Lelaki itu hilang entah kemana.
Hari berikutnya, lelaki yang memberi banyak pelajaran itu datang lagi, sama seperti kemarin, dia mendirikan shalat hingga subuh menjelang. Ibnu munkadir berhasil mengikutinya dari belakang. Dan mengenali sebuah rumah dimadinah sebagai tempat tinggalnya. Kemudian kembali kemesjid.
Pagi hari setelah matahari sempurna terbitnya, ibnu munkadir mendatangi rumah lelaki yang ternyata seorang tukang penjahit sepatu. Namun dia kaget ketika ibnu munkadir bercerita tentang peristiwa dua hari lalu dimesjid Nabawi. Mukanya memerah dan dia betul-betul marah. "Apa urusan mu dengan urusan itu wahai ibnu munkadir ?". Tanyanya dengan nada tinggi. Nampaknya dia orang yang tidak ingin dikenali. Ibnu munkadir terdiam dan kemudian pulang. Ia menunggu lelaki itu dimesjid, dihari ketiga. Entah untuk meminta maaf, entah untuk sekedar bertanya. Tetapi si penjahit sepatu tidak datang. Apa yang harus aku lakukan tanya ibnu munkadir.
Paginya ibnu munkaidr menemukan rumah penjahit sepatu itu kosong melompong. Dia pergi tanpa ada yang tahu kemana. Bahkan setelah ibnu  mjunkadir bertanya pada setiap penduduk Madinah yang ditemuinya. Merenungi dirinya, ibnu munkadir mengulang ucapan lelaki itu, "Siapakah diriku, wahai Rabb ?". Dan dia merasa malu.
Ternyata, begini sikap orang yang memiliki tingkat kedekatan dengan sang Khaliq, yang dilandasi keikhlasan dan pengharapan akan ridho Nya. Tidak mengharap ridho dan pujian manusia, bahkan malu dan tersinggung jika ada manusia yang mengungkit-unkitnya. Berbeda dengan kadaan dizaman kita sekarang ini. Ketaatan ditampilkan vulgar dihadapan khalayak, agar memperoleh label hamba yang 'alim, taat dan mulia. Ucapan difasih-fasihkan, sikap diatur sedemikian rupa. Nauzubillah. Mari kita  semua berharap dan bermohon kepadaNya agar dimasukkan kedalam kelompok hamba-hambaNya yang ikhlas yang hanya mengharap ridhoNya. Amiin, Wallahu a'lam.

0 comments:

Posting Komentar

Jika sobat merasa informasi ini bermanfaat, silahkan sobat memberikan komentar. Jika sobat hendak men-COPY ARTIKEL INI, MOHON KIRANYA MENCANTUMKAN SUMBERNYA, MARI KITA SALING MENGHARGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Jangan lupa, klik Google+ diside bar sebelah kiri