22.02
0

Semilir Hati~Sobat semilir, masih ingat dengan jelas didalam benak saya, bahwa dahulu ketika saya masih sekolah di SD sekitar tahun 89, merupakan hal yang sangat saya dan teman-teman takuti untuk menyampaikan kepada orang tua dirumah ketika kami disekolah dimarahi bahkan dicubit atau dipukul dengan penggaris yang ukurannya 1 m oleh bapak/ibu guru karena "berbuat salah" di sekolah. Kenapa ? Karena ketika disampaikan kepada orang tua dirumah, mereka akan bertanya, "kamu berbuat apa ?". Nah, ketika orang tua mengetahui kami berbuat salah disekolah, bukannya pembelaan yang kami peroleh, tetapi kami mendapat "bonus". Bonus kemarahan dari orang tua, karena telah berbuat salah sehingga dimarahi oleh bapak/ibu guru disekolah. Karena baik orang tua dahulu maupun para pendidik, memposisikan diri dengan benar sebagai "pendidik" bagi anak-anak dirumah dan disekolah. Ada link and match antara mereka yang membuat proses pendidikan tersebut berkesinambungan antara sekolah dan rumah.

Berbeda dengan situasi saat ini, ketika anak dimarahi oleh guru disekolah, maka sang anak akan segera melaporkan guru tersebut kepada orang tuanya dirumah, otang tua lalu akan "terprovokasi", "melabrak" sang guru dan pihak sekolah bahkan sampai membuat laporan kepada polisi segala. Hal ini karena "sebahagian" guru disekolah ada yang tidak menempatkan diri sebagai seorang "pendidik" sehingga barangkali kemarahan bukan dalam rangka mendidik serta bukan dengan cara mendidik dan orang tua dirumah juga tidak bisa mendidik anaknya dengan cara yang benar.

Dilain pihak, saya pernah mendengar kisah seorang guru yang menceritakan kepada saya bahwa suatu kali ia menghadapi seorang siswi yang selalu membantahnya ketika pembelajaran dikelas dikarenakan ia bersikeras bahwa teori yang disampaikan sang guru tidak seperti apa yang disampaikan orang tuanya dirumah. Setiap tugas yang diberikan dia kerjakan dengan cara yang diarahkan oleh orang tuanya, sampai akhirnya sang guru tadi mengatakan kepada siswanya, "kalau kamu ingin mengikuti pembelajaran seperti yang saya sampaikan, maka ikuti cara-cara yang saya jelaskan, agar kamu tidak kesulitan nanti ketika mengikuti ujian, tetapi seandainya kamu tetap menggunakan cara-cara yang diajarkan oleh orang tua kamu dirumah, nanti kamu akan kesulitan ketika akan mengikuti ujian, atau sebaiknya kamu tidak perlu bersekolah, cukup belajar saja dengan orang tuamu dirumah". Nah...apakah nasehat ini mempan, ternyata tidak juga, sianak tetap pada pendiriannya, karena orang tuanya dirumah selalu "memprovokasi" bahwa cara mereka yang lebih baik. Padahal, apa yang disampaikan oleh guru disekolah sudah disesuaikan dengan program pembelajaran menurut satuan pendidikan, tingkat usia anak, garis-garis besar pengajaran dan entah apa lah namanya. Pada akhirnya sang guru memutuskan untuk memanggil orang tuanya dan menjelaskan secara bijak, bahwa seandainya anak mereka tidak mengikuti prosedur pembelajaran seperti yang diajarkan disekolah, maka mereka akan kesulitan dimasa yang akan datang, mulai dari ujian hingga kenaikan kelas ke tingkat yang lebih tinggi, karena pola-pola pembelajaran tersebut sudah dibuat oleh pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan.

Inilah dua potret pendidikan di negeri kita ini, Terprovokasi dan Memprovokasi. Anak yang suka mengadu domba guru dan orang tuanya. Orang tua yang tidak melakukan cek and ricek terlebih dahulu, dan guru yang tidak memiliki "jiwa pendidik". Memang menjadi PR kita semua sebagai orang tua untuk mengarahkan anak kita dengan benar, dan tugas pemerintah juga untuk menjadikan guru-guru disekolah sebagai "pendidik" generasi bangsa, agar bangsa ini tidak memiliki individu-individu yang mudah terprovokasi dan memprovokasi seperti saat ini. Wallahu a'lam~Semilir Hati

0 comments:

Posting Komentar

Jika sobat merasa informasi ini bermanfaat, silahkan sobat memberikan komentar. Jika sobat hendak men-COPY ARTIKEL INI, MOHON KIRANYA MENCANTUMKAN SUMBERNYA, MARI KITA SALING MENGHARGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Jangan lupa, klik Google+ diside bar sebelah kiri